Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992) sebagai berikut. Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau'i alau'e, ri parimanianngi maniannge, ri pariase'i ri ase'e, ri pariawai ri awae. (Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.) Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahw
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang Bugis dalam berkomunikasi antara sesama mereka. Bahasa Bugis merupakan bahasa yang paling besar jumlah pemakainya di Sulawesi Selatan, dengan berbagai varian dan dialek. Bahasa Bugis tidak hanya digunakan di Sulawesi Selatan, tapi juga digunakan oleh orang-orang Bugis yang membangun perkampungan-perkampungan di rantau. Menurut Timothy and Barbara (1985:1), suku bangsa Bugis adalah suku bangsa yang paling banyak jumlahnya dan paling progresif di Sulawesi Selatan. Pada masa lampau bahasa Bugis digunakan untuk semua kegiatan kebudayaan orang-orang Bugis, baik dalam aktivitas keagamaan, politik, pertanian, perdagangan, maupun dalam kesusastraan. Namun bersama dengan perubahan waktu, terutama setelah tanah Bugis dilebur menjadi bagian dari Indonesia, perlahan-lahan bahasa Bugis mulai tergeser, penggunaannya digantikan oleh bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pergaulan antara etnik di Nusantara. Meskipun begitu, data ba